Entri Populer

Rabu, 19 Oktober 2011

k3 - keselamatan kerja

andasan hukum k3

LANDASAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PEGAWASAN KESEHATAN KERJA
Undang-undang No. 13 tahun 2003
Undang-undang No. 3 tahun 1951
Undang-undang No. 21 Tahun 2003
Undang-undang No. 1 tahun 1970
Undang-undang No. 3 tahun 1992
Undang-undang No. 32 tahun 2004, Jo. PP No. 25 Tahun 2000
Kepmendagri No. 130-67 Tahun 2002
Ruang Lingkup Kesehatan Kerja (Obyek Pengawasan)
Pelayanan Kesehatan Kerja, SDM bidang kesehatan kerja,, Kelembagaan bidang kesehatan kerja, Ergonomi kerja, P3K di tempat kerja, Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, Penyakit Akibat Kerja (PAK), Penyelenggaraan makanan bagi tenaga kerja/Gizi kerja, Higiene industri, Toksikologi industri, Psikologi kerja, Emergency respon di tempat kerja
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan:
Pasal 86
(1) Setiap pekerja / buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
  • Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
  • Moral dan Kesusilaan
  • Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan Pasal 86 :
Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.
Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-undang No. 3 Tahun 1951 Tentang Pernyataan Berlakunya UU Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Dari RI Untuk seluruh Indonesia.
Pengawasan perburuhan antara lain diadakan guna mengawasi berlakunya UU dan Peraturan Perundangan Perburuhan pada khususnya.

Menteri yang diserahi urusan perburuhan atau pegawai yang ditunjuk olehnya akan menetapkan pegawai-pegawai mana yang diberi kewajiban untuk menjalankan pengawasan perburuhan.
UU No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (Konvensi ILO No. 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Di Industri dan Perdagangan)
  • Sistem pengawasan ketenagakerjaan harus diterapkan di semua tempat kerja berdasarkan perundang-undangan.
  • Sistem pengawasannya dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan
Undang-undang No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan kerja :
  • Syarat-syarat Keselamatan Kerja berisi lebih dari 50% syarat-syarat Kesehatan Kerja. Dirjen Binwasnaker melakukan pengawasan umum terhadap UU ini. Pegawai Pengawas dan Ahli K3 ditugaskan menjalankan pengawasan Langsung thd ditaatinya UU ini dan membantu pelaksanaannya.
  • Pemeriksaan Kesehatan TK dilakukan oleh Dokter yang mempunyai kualifikasi dan kompetensi khusus (dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja).
  • Kebijakan Nasional menjadi tanggung jawab Menteri Tenaga Kerja shg terjamin pelaksanaannya secara seragam dan serasi bagi seluruh Indonesia.
PP. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom.
Kewenangan Pemerintah di bidang Ketenagakerjaan adalah seperti pada Pasal 2 ayat 3 yaitu :
  • Penetapan kebijakan hubungan industrial, perlindungan pekerja dan jamsos pekerja.
  • Penetapan standar keselamatan kerja, kesehatan kerja, hygiene perusahaan, lingkungan kerja dan ergonomi.
  • Penetapan pedoman Penentuan kebutuhan fisik minimum.
  • Kepmendagri No. 130-67 tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota:
Kewenangan Bidang Ketenagakerjaan khususnya perlindungan tenaga kerja :
  1. Bimbingan pencegahan kecelakaan kerja
  2. Bimbingan kesehatan kerja
  3. Bimbingan pembentukan P2K3
  4. Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja
  5. Pemeriksaan Kecelakaan kerja
  6. Pemberdayaan pelaksanaan kegiatan Ahli K3
  7. Pemberdayaan pelaksaan kegiatan PJK3
  8. Pelaksanaan Penerapan SMK3
  9. Pemberian ijin Pengesahan Sertifikat K3
  10. Penyidikan Pelanggaran Norma K3
9 dari 9
Bibliografi



Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per 04/Men/1987 tentang Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan kerja.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP. 155/MEN/1984, tentang Penyempurnaan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP. 125/MEN/1982 tentang
Pembentukan, Susunan dan Tata Kerja Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja nasional,
Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Daerah, Dewan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Wilayah dan P2K3 (Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja).
Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I No. 2 tahun 1970 tentang Pembentukan

Panitia
Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja
.
Departemen Tenaga Kerja, Badan Perencanaan dan Pengembangan Tenaga Kerja, Pusat
Hiperkes dan Keselamatan Kerja tentang kurikulum pelatihan Hiperkes dan Keselamatan
Kerja Teknisi di perusahaan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 74 TAHUN 2001
TENTANG
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang
:
  1. bahwa dengan meningkatnya kegiatan pembangunan di berbagai bidang terutama bidang industri dan perdagangan, terdapat kecenderungan semakin meningkat pula penggunaan bahan berbahaya dan beracun;
  2. bahwa sampai saat ini terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, akan tetapi masih belum cukup memadai terutama untuk mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup;
  3. bahwa untuk mencegah terjadinya dampak yang dapat merusak lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya diperlukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun secara terpadu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun;
Mengingat
:
    1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;
    2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
    3. Undang- undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
    4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);
    5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
    6. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
    7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
    8. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
    9. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 12);
    10. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910) ;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan
:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
      1. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat dengan B3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya;
      2. Pengelolaan B3 adalah kegiatan yang menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan atau membuang B3;
      3. Registrasi B3 adalah pendaftaran dan pemberian nomor terhadap B3 yang ada di wilayah Republik Indonesia;
      4. Penyimpanan B3 adalah teknik kegiatan penempatan B3 untuk menjaga kualitas dan kuantitas B3 dan atau mencegah dampak negatif B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya;
      5. Pengemasan B3 adalah kegiatan mengemas, mengisi atau memasukkan B3 ke dalam suatu wadah dan atau kemasan, menutup dan atau menyegelnya;
      6. Simbol B3 adalah gambar yang menunjukkan klasifikasi B3;
      7. Label adalah uraian singkat yang menunjukkan antara lain klasifikasi dan jenis B3;
      8. Pengangkutan B3 adalah kegiatan pemindahan B3 dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan sarana angkutan;
      9. B3 terbatas dipergunakan adalah B3 yang dibatasi penggunaan, impor dan atau produksinya;
      10. B3 yang dilarang dipergunakan adalah jenis B3 yang dilarang digunakan, diproduksi, diedarkan dan atau diimpor;
      11. Impor B3 adalah kegiatan memasukkan B3 ke dalam daerah kepabeanan Indonesia;
      12. Ekspor B3 adalah kegiatan mengeluarkan B3 dari daerah kepabeanan Indonesia;
      13. Notifikasi untuk ekspor adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari otoritas negara pengekspor ke otoritas negara penerima dan negara transit apabila akan dilaksanakan perpindahan lintas batas B3 yang terbatas dipergunakan;
      14. Notifikasi untuk impor adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari otoritas negara pengekspor apabila akan dilaksanakan perpindahan lintas batas untuk B3 yang terbatas dipergunakan dan atau yang pertama kali diimpor;
      15. Orang adalah orang perseorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum;
      16. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
      17. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang dalam memberikan izin, pengawasan dan hal lain yang sesuai dengan bidangnya masing-masing;
      18. Komisi B3 adalah badan independen yang berfungsi memberikan saran dan atau pertimbangan kepada Pemerintah dalam pengelolaan B3 di Indonesia;
      19. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;
      20. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota;
      21. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.

Pasal 2

Pengaturan pengelolaan B3 bertujuan untuk mencegah dan atau mengurangi risiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Pasal 3

Pengelolaan B3 yang tidak termasuk dalam lingkup Peraturan Pemerintah ini adalah pengelolaan bahan radioaktif, bahan peledak, hasil produksi tambang serta minyak dan gas bumi dan hasil olahannya, makanan dan minuman serta bahan tambahan makanan lainnya, perbekalan kesehatan rumah tangga dan kosmetika, bahan sediaan farmasi, narkotika, psikotropika, dan prekursornya serta zat adiktif lainnya, senjata kimia dan senjata biologi.

Pasal 4

Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.

BAB II
KLASIFIKASI B3
Pasal 5

  1. B3 dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
    1. mudah meledak (explosive);
    2. pengoksidasi (oxidizing);
    3. sangat mudah sekali menyala (extremely flammable);
    4. sangat mudah menyala (highly flammable);
    5. mudah menyala (flammable);
    6. amat sangat beracun (extremely toxic);
    7. sangat beracun (highly toxic);
    8. beracun (moderately toxic);
    9. berbahaya (harmful);
    10. korosif (corrosive);
    11. bersifat iritasi (irritant);
    12. berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment);
    13. karsinogenik (carcinogenic);
    14. teratogenik (teratogenic);
    15. mutagenik (mutagenic).
  2. Klasifikasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari :
    1. B3 yang dapat dipergunakan;
    2. B3 yang dilarang dipergunakan; dan
    3. B3 yang terbatas dipergunakan.
  3. B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.

BAB III
TATA LAKSANA DAN PENGELOLAAN B3
Pasal 6

  1. Setiap B3 wajib diregistrasikan oleh penghasil dan atau pengimpor.
  2. Kewajiban registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku 1 (satu) kali untuk B3 yang dihasilkan dan atau diimpor untuk yang pertama kali.
  3. Registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
    1. termasuk dalam ketentuan Pasal 3, diajukan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    2. tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 3, diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab.
  4. Instansi yang berwenang yang memberikan nomor registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a menyampaikan tembusannya kepada instansi yang bertanggung jawab.
  5. Instansi yang bertanggung jawab yang memberikan nomor registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b menyampaikan tembusannya kepada instansi yang berwenang.
  6. Tata cara registrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dan sistem registrasi nasional B3 ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 7

  1. Setiap orang yang melakukan kegiatan ekspor B3 yang terbatas dipergunakan, wajib menyampaikan notifikasi ke otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang bertanggung jawab.
  2. Ekspor B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilaksanakan setelah adanya persetujuan dari otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang bertanggung jawab.
  3. Persetujuan dari instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan dasar untuk penerbitan atau penolakan izin ekspor dari instansi yang berwenang di bidang perdagangan.

Pasal 8

  1. Setiap orang yang melakukan kegiatan impor B3 yang terbatas dipergunakan dan atau yang pertama kali diimpor, wajib mengikuti prosedur notifikasi.
  2. Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib disampaikan oleh otoritas negara pengekspor kepada instansi yang bertanggung jawab.
  3. Instansi yang bertanggung jawab wajib memberikan jawaban atas notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan notifikasi.

Pasal 9

  1. Setiap orang yang melakukan kegiatan impor B3 yang baru yang tidak termasuk dalam daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), wajib mengikuti prosedur notifikasi.
  2. Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan oleh otoritas negara pengekspor kepada instansi yang bertanggung jawab.
  3. Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) segera memberitahukan kepada Komisi B3 untuk meminta saran dan atau pertimbangan Komisi B3.
  4. Komisi B3 memberikan saran dan atau pertimbangan kepada instansi yang bertanggung jawab mengenai B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
  5. Berdasarkan saran dan atau pertimbangan yang diberikan oleh Komisi B3 kepada instansi yang bertanggung jawab, maka instansi yang bertanggung jawab:
    1. mengajukan perubahan terhadap lampiran Peraturan Pemerintah ini; dan
    2. memberikan persetujuan kepada instansi yang berwenang di bidang perdagangan sebagai dasar untuk penerbitan atau penolakan izin impor.

Pasal 10

Tata cara notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 11

Setiap orang yang memproduksi B3 wajib membuat Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet).
Pasal 12

Setiap penanggung jawab pengangkutan, penyimpanan, dan pengedaran B3 wajib menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.

Pasal 13

  1. Pengangkutan B3 wajib menggunakan sarana pengangkutan yang laik operasi serta pelaksanaannya sesuai dengan tata cara pengangkutan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Persyaratan sarana pengangkutan dan tata cara pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh instansi yang berwenang di bidang transportasi.

Pasal 14

Setiap B3 yang dihasilkan, diangkut, diedarkan, disimpan wajib dikemas sesuai dengan klasifikasinya.

Pasal 15

  1. Setiap kemasan B3 wajib diberikan simbol dan label serta dilengkapi dengan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet).
  2. Tata cara pengemasan, pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 16

  1. Dalam hal kemasan B3 mengalami kerusakan untuk :
  1. B3 yang masih dapat dikemas ulang, pengemasannya wajib dilakukan oleh pengedar;
  2. B3 yang tidak dapat dikemas ulang dan dapat menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dan atau keselamatan manusia, maka pengedar wajib melakukan penanggulangannya.
  1. B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b, ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.
  2. Dalam hal Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum tersedia, maka tata cara penanganan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengacu kepada kaidah ilmiah yang berlaku.

Pasal 17
    1. Dalam hal simbol dan label mengalami kerusakan wajib diberikan simbol dan label yang baru.
    2. Tanggung jawab pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk kerusakan pada tahap:
      1. produksi, tanggung jawabnya ada pada produsen/penghasil;
      2. pengangkutan, tanggung jawabnya ada pada penanggung jawab kegiatan pengangkutan;
      3. penyimpanan, tangggung jawabnya ada pada penanggung jawab kegiatan penyimpanan.
    3. Tata cara pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 18

    1. Setiap tempat penyimpanan B3 wajib diberikan simbol dan label.
    2. Tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi persyaratan untuk :
      1. lokasi;
      2. konstruksi bangunan.
    1. Kriteria persyaratan tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 19

Pengelolaan tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) wajib dilengkapi dengan sistem tanggap darurat dan prosedur penanganan B3.
Pasal 20

B3 yang kadaluarsa dan atau tidak memenuhi spesifikasi dan atau bekas kemasan, wajib dikelola sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.

BAB IV
KOMISI B3
Pasal 21

  1. Dalam rangka pengelolaan B3 dibentuk Komisi B3 yang mempunyai tugas untuk memberikan saran dan atau pertimbangan kepada Pemerintah.
  2. Komisi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat terdiri dari beberapa Sub Komisi B3.
  3. Susunan keanggotaan Komisi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari wakil instansi yang berwenang, wakil instansi yang bertanggung jawab, wakil instansi yang terkait, wakil perguruan tinggi, organisasi lingkungan, dan asosiasi.
  4. Susunan keanggotaan, tugas, fungsi, dan tata kerja Komisi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

BAB V
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Pasal 22

  1. Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menjaga keselamatan dan kesehatan kerja.
  2. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penanggung jawab kegiatan pengelolaan B3 wajib mengikutsertakan peranan tenaga kerjanya.
  4. Peranan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 23
  1. Untuk menjaga keselamatan dan kesehatan pekerja dan pengawas B3 wajib dilakukan uji kesehatan secara berkala.
  2. Uji kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh masing-masing instansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VI
PENANGGULANGAN KECELAKAAN DAN
KEADAAN DARURAT
Pasal 24

Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menanggulangi terjadinya kecelakaan dan atau keadaan darurat.

Pasal 25

Dalam hal terjadi kecelakaan dan atau keadaan darurat yang diakibatkan B3, maka setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 wajib mengambil langkah-langkah :
  1. mengamankan (mengisolasi) tempat terjadinya kecelakaan;
  2. menanggulangi kecelakaan sesuai dengan prosedur tetap penanggulangan kecelakaan;
  3. melaporkan kecelakaan dan atau keadaan darurat kepada aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat; dan
  4. memberikan informasi, bantuan, dan melakukan evakuasi terhadap masyarakat di sekitar lokasi kejadian.


Pasal 26

Aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat, setelah menerima laporan tentang terjadinya kecelakaan dan atau keadaan darurat akibat B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c, wajib segera mengambil langkah-langkah penanggulangan yang diperlukan.

Pasal 27

Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, tidak menghilangkan kewajiban setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 untuk :
  1. mengganti kerugian akibat kecelakaan dan atau keadaan darurat; dan atau
  2. memulihkan kondisi lingkungan hidup yang rusak atau tercemar;
  3. yang diakibatkan oleh B3.
BAB VII
PENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasal 28

  1. Wewenang pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
  2. Dalam hal tertentu, wewenang pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diserahkan menjadi urusan daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.
  3. Penyerahan wewenang pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab dan atau instansi yang berwenang di bidang tugasnya masing-masing.

Pasal 29

Pengawas dalam melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), wajib dilengkapi tanda pengenal dan surat tugas yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.


Pasal 30

Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib:
  1. mengizinkan pengawas untuk memasuki lokasi kerja dan membantu terlaksananya tugas pengawasan;
  2. mengizinkan pengawas untuk mengambil contoh B3;
  3. memberikan keterangan dengan benar baik lisan maupun tertulis;
  4. mengizinkan pengawas untuk melakukan pemotretan di lokasi kerja dan atau mengambil gambar.

Pasal 31

Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menyampaikan laporan tertulis tentang pengelolaan B3 secara berkala sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang di bidang tugas masing-masing dengan tembusan kepada Gubernur/Bupati/ Walikota.

BAB VIII
PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT

Pasal 32

Gubernur/Bupati/Walikota/Kepala Instansi yang bertanggung jawab dan Pimpinan instansi yang berwenang, dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi dampak yang akan timbul terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya akibat adanya kegiatan pengelolaan B3.

Pasal 33

Setiap orang yang melakukan pengelolaan B3 wajib meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi dampak B3 yang akan timbul terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya akibat adanya kegiatan pengelolaan B3.

Pasal 34

Peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33 dapat dilakukan dengan penyebarluasan pemahaman tentang B3.

BAB IX
KETERBUKAAN INFORMASI DAN
PERAN MASYARAKAT

Pasal 35

  1. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang upaya pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan pengelolaan B3.
  2. Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib disediakan oleh penanggung jawab kegiatan pengelolaan B3.
  3. Penyediaan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disampaikan melalui media cetak, media elektronik dan atau papan pengumuman.

Pasal 36

Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan B3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB X
PEMBIAYAAN

Pasal 37

Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam :
  1. Pasal 6 ayat (6), Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (4), Pasal 23 ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. Pasal 26, Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 32 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XI
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 38

  1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal 35 dikenakan sanksi administrasi.
  2. Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan berat dan ringannya jenis pelanggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XII
GANTI KERUGIAN
Pasal 39

  1. Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti kerugian secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
  2. Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini :
    1. adanya bencana alam atau peperangan; atau
    2. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
    3. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
  1. (3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti kerugian.

BAB XIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 40

Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, dan Pasal 24 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 41

Apabila pada saat diundangkan Peraturan Pemerintah ini :
  1. masih terdapat B3 yang dilarang dipergunakan di Indonesia, maka B3 tersebut dapat diekspor ke negara yang memerlukannya sesuai dengan mekanisme ekspor yang berlaku;
  2. terdapat B3 yang telah beredar tetapi belum diregistrasikan maka wajib diregistrasikan oleh penyimpan, pengedar dan atau pengguna menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).

Pasal 42

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan B3 yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
P
asal 43

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2001

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 138

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 74 TAHUN 2001
TENTANG
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

UMUM
Meningkatnya kegiatan pembangunan di Indonesia dapat mendorong peningkatan penggunaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di berbagai sektor seperti industri, pertambangan, pertanian dan kesehatan. B3 tersebut dapat berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri (impor). B3 yang dihasilkan dari dalam negeri, juga ada yang diekspor ke suatu negara tertentu. Proses impor dan ekspor ini semakin mudah untuk dilakukan dengan masuknya era globalisasi.
Selama tiga dekade terakhir, penggunaan dan jumlah B3 di Indonesia semakin meningkat. Penggunaan B3 yang terus meningkat dan tersebar luas di semua sektor apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik, maka akan dapat menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya dan lingkungan hidup, seperti pencemaran udara, pencemaran tanah, pencemaran air, dan pencemaran laut. Agar pengelolaan B3 tidak mencemari lingkungan hidup dan untuk mencapai derajat keamanan yang tinggi, dengan berpijak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kualitas hidup manusia, maka diperlukan peningkatan upaya pengelolaannya dengan lebih baik dan terpadu.
Kebijaksanaan pengelolaan B3 yang ada saat ini masih diselenggarakan secara parsial oleh berbagai instansi terkait, sehingga dalam penerapannya masih banyak menemukan kendala. Oleh karena itu, maka semakin disadari perlunya Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan B3 secara terpadu yang meliputi kegiatan produksi, penyimpanan, pengemasan, pemberian simbol dan label, pengangkutan, penggunaan, impor, ekspor dan pembuangannya. Pentingnya penyusunan Peraturan Pemerintah ini secara tegas juga disebutkan dalam Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan dan sebagai pelaksanaan dari Pasal 17 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka2
Cukup jelas
Angka 3
Registrasi bertujuan untuk mengetahui jumlah B3 yang beredar di Indonesia agar dapat dilakukan pengawasan dari awal sehingga dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Registrasi merupakan langkah awal dalam pengelolaan B3.
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Contoh B3 yang mudah terbakar dengan simbol api.
Angka 7
Label misalnya tulisan mudah meledak dan mudah terbakar.
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Angka 15
Cukup jelas
Angka 16
Cukup jelas
Angka 17
Cukup jelas
Angka 18
Cukup jelas
Angka 19
Cukup jelas
Angka 20
Cukup jelas
Angka 21
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Untuk dapat mengelola B3 dengan baik dan benar maka perlu diketahui klasifikasi B3 tersebut. Penjelasan klasifikasi dimaksud sebagai berikut :
  1. Mudah meledak (explosive), adalah bahan yang pada suhu dan tekanan standar (250C, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan di sekitarnya. Pengujiannya dapat dilakukan dengan menggunakan Differential Scanning Calorymetry (DSC) atau Differential Thermal Analysis (DTA), 2,4-dinitrotoluena atau Dibenzoil-peroksida sebagai senyawa acuan. Dari hasil pengujian tersebut akan diperoleh nilai temperatur pemanasan. Apabila nilai temperatur pemanasan suatu bahan lebih besar dari senyawa acuan, maka bahan tersebut diklasifikasikan mudah meledak.
  2. Pengoksidasi (oxidizing)
Pengujian bahan padat yang termasuk dalam kriteria B3 pengoksidasi dapat dilakukan dengan metoda uji pembakaran menggunakan ammonium persulfat sebagai senyawa standar. Sedangkan untuk bahan berupa cairan, senyawa standar yang digunakan adalah larutan asam nitrat. Dengan pengujian tersebut, suatu bahan dinyatakan sebagai B3 pengoksidasi apabila waktu pembakaran bahan tersebut sama atau lebih pendek dari waktu pembakaran senyawa standar.
  1. Sangat mudah sekali menyala (extremely flammable) adalah B3 baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala dibawah 0 0C dan titik didih lebih rendah atau sama dengan 35 0C.
  2. Sangat mudah menyala (highly flammable) adalah B3 baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala 00C - 210C.
  3. Mudah menyala (flammable) mempunyai salah satu sifat sebagai berikut :
    1. Berupa cairan
Bahan berupa cairan yang mengandung alkohol kurang dari 24% volume dan atau pada titik nyala (flash point) tidak lebih dari 600C (1400 F) akan menyala apabila terjadi kontak dengan api, percikan api atau sumber nyala lain pada tekanan udara 760 mmHg. Pengujiannya dapat dilakukan dengan metode Closed-Up Test.
    1. Berupa padatan
B3 yang bukan berupa cairan, pada temperatur dan tekanan standar (250C, 760 mmHg) dengan mudah menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan dan apabila terbakar dapat menyebabkan kebakaran yang terus menerus dalam 10 detik. Selain itu, suatu bahan padatan diklasifikasikan B3 mudah terbakar apabila dalam pengujian dengan metode Seta Closed-Cup Flash Point Test diperoleh titik nyala kurang dari 400C.
  1. Cukup jelas
  2. Cukup jelas
  3. Beracun (moderately toxic)
B3 yang bersifat racun bagi manusia akan menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.
Tingkatan racun B3 dikelompokkan sebagai berikut :
Urutan
Kelompok
LD50 (mg/kg)
1
2
3
4
5
6
Amat sangat beracun (extremely toxic)
Sangat beracun (highly toxic)
Beracun (moderately toxic)
Agak beracun (slightly toxic)
Praktis tidak beracun (practically non-toxic)
Relatif tidak berbahaya (relatively harmless)
< 1
1 – 50
51 – 500
501 – 5.000
5001 - 15.000
> 15.000


  1. Berbahaya (harmful) adalah bahan baik padatan maupun cairan ataupun gas yang jika terjadi kontak atau melalui inhalasi ataupun oral dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan sampai tingkat tertentu.
  2. Korosif (corrosive)
B3 yang bersifat korosif mempunyai sifat antara lain :
      1. Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit;
      2. Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja SAE 1020 dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur pengujian 55 0C;
      3. Mempunyai pH sama atau kurang dari 2 untuk B3 bersifat asam dan sama atau lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.
  1. Bersifat iritasi (irritant)
Bahan baik padatan maupun cairan yang jika terjadi kontak secara langsung, dan apabila kontak tersebut terus menerus dengan kulit atau selaput lendir dapat menyebabkan peradangan.
  1. Berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment)
Bahaya yang ditimbulkan oleh suatu bahan seperti merusak lapisan ozon (misalnya CFC), persisten di lingkungan (misalnya PCBs), atau bahan tersebut dapat merusak lingkungan.
  1. Karsinogenik (carcinogenic) adalah sifat bahan penyebab sel kanker, yakni sel liar yang dapat merusak jaringan tubuh.
  2. Teratogenik (teratogenic) adalah sifat bahan yang dapat mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan embrio.
  3. Mutagenik (mutagenic) adalah sifat bahan yang menyebabkan perubahan kromosom yang berarti dapat merubah genetika.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Registrasi B3 dapat dilakukan dengan cara, antara lain, melalui surat menyurat atau pun melalui e-mail.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah, antara lain, untuk hasil produksi tambang, minyak dan gas bumi, serta hasil olahannya diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (4)
Penyampaian tembusan kepada instansi yang bertanggung jawab dimaksudkan sebagai wujud koordinasi agar impor dan peredaran B3 dapat diketahui oleh instansi yang bertanggung jawab.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Dalam penetapan sistem registrasi nasional, instansi yang bertanggung jawab akan membuat pedoman tentang tata cara registrasi yang antara lain memuat sistem registrasi, muatan data yang perlu disampaikan oleh penghasil dan atau pengimpor kepada instansi yang bertanggung jawab tentang pembuatan nomor registrasi.
Pemberian nomor registrasi tersebut diperlukan sebagai alat kontrol terhadap peredaran B3 di Indonesia, sehingga dapat dengan mudah dilakukan pengawasan dan pencegahan terjadinya dampak B3 terhadap lingkungan hidup.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Otoritas negara pengekspor adalah instansi yang berwenang di bidang lingkungan hidup dari negara pengekspor.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
B3 baru adalah B3 yang baru pertama kali diimpor dan belum termasuk dalam daftar B3 sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Huruf a
Perubahan lampiran Peraturan Pemerintah ini dilakukan dalam waktu tertentu.
Huruf b
Berdasarkan ketentuan internasional, instansi yang berwenang dalam memberikan notifikasi B3 adalah instansi yang bertanggung jawab. Sedangkan kewenangan menerbitkan izin impor merupakan kewenangan instansi yang berwenang di bidang perdagangan. Oleh karena itu, notifikasi tersebut perlu diteruskan ke instansi tersebut untuk penerbitan atau penolakan izin impor.
Penerbitan izin tersebut diberikan setelah perubahan terhadap lampiran Peraturan Pemerintah ini selesai dilakukan.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet) berisi :
  1. merek dagang;
  2. rumus kimia B3;
  3. jenis B3;
  4. klasifikasi B3;
  5. teknik penyimpanan; dan
  6. tata cara penanganan bila terjadi kecelakaan.

Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Kemasan adalah tempat atau wadah untuk menyimpan, mengangkut dan mengedarkan B3.
Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet) dapat diperbanyak dengan cara menggandakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet) sesuai dengan kebutuhan.
Pemberian simbol dan label pada setiap kemasan B3 adalah untuk mengetahui klasifikasi B3 sehingga pengelolaannya dapat dilakukan dengan baik guna mengurangi risiko yang dapat ditimbulkan dari B3.
Ayat (2)
Ketentuan tentang cara pengemasan, pemberian simbol dan label yang akan ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengertian B3 yang dimaksud meliputi B3 yang masih dapat dikemas ulang dan B3 yang tidak dapat dikemas ulang.
Ayat (3)
Kaidah ilmiah yang dimaksud adalah seperti hand book, text book, dan manual.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Tempat penyimpanan yang sesuai dengan persyaratan adalah suatu tempat tersendiri yang dirancang sesuai dengan karakteristik B3 yang disimpan
misalnya B3 yang reaktif (reduktor kuat) tidak dapat dicampur dengan asam mineral pengoksidasi karena dapat menimbulkan panas, gas beracun dan api. Juga tempat penyimpanan B3 harus dapat menampung jumlah B3 yang akan disimpan. Misalnya suatu kegiatan industri yang menghasilkan B3 harus menyimpan B3 ditempat penyimpanan B3 yang mempunyai kapasitas yang sesuai dengan B3 yang akan disimpan dan memenuhi persyaratan teknis kesehatan dan perlindungan lingkungan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Sistem tanggap darurat adalah mekanisme atau prosedur untuk menanggulangi terjadinya malapetaka dalam pengelolaan B3 yang memerlukan kecepatan dan ketepatan penanganan, sehingga bahaya yang terjadi dapat ditekan sekecil mungkin.
Pasal 20
B3 kadaluarsa adalah B3 yang karena kesalahan dalam penanganannya (handling) menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan atau karakteristik sehingga B3 tersebut tidak sesuai lagi dengan spesifikasinya. Sedangkan B3 yang tidak memenuhi spesifikasi adalah B3 yang dalam proses produksinya tidak sesuai dengan yang diinginkan/ditentukan.
Pasal 21
Ayat (1)
Pemerintah yang dimaksud adalah instansi yang berwenang di bidangnya seperti perhubungan, pertanian, perindustrian dan perdagangan, energi dan sumber daya mineral, dan kesehatan.
Ayat (2)
Contoh Sub Komisi B3 antara lain Sub Komisi Pestisida.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Uji keselamatan dan kesehatan untuk pekerja dan pengawas B3 dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun, dengan maksud untuk mengetahui sedini mungkin terjadinya kontaminasi oleh zat/senyawa kimia B3 terhadap pekerja dan pengawas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Kecelakaan B3 adalah lepasnya atau tumpahnya B3 ke lingkungan. Untuk mencegah meluasnya dampak B3 tersebut, kecelakaan B3 perlu ditanggulangi dengan cepat dan tepat.
Keadaan darurat adalah eskalasi atau peningkatan kecelakaan B3 sehingga membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif.
Pasal 25
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat antara lain adalah aparat kecamatan dan atau aparat desa/lurah.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 26
Langkah-langkah penanggulangan antara lain dapat berupa instruksi yang diberikan aparat pemerintah daerah kepada masyarakat untuk menghindar dari lokasi kejadian dan menuju ke tempat yang lebih aman.
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Wewenang pengawasan masih dilakukan oleh Pemerintah Pusat karena pengelolaan B3 banyak berkaitan dengan lintas batas propinsi dan atau lintas batas negara.
Yang dimaksud sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing misalnya di bidang pengangkutan dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang perhubungan, dan di bidang lingkungan hidup dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup.
Ayat (2)
Hal tertentu adalah keadaan di mana Pemerintah Daerah sudah mampu melaksanakan pengawasan di bidang pengelolaan B3.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 29
Tanda pengenal dan surat tugas ini penting untuk menghindari adanya petugas-petugas pengawas palsu, atau untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Tanda pengenal minimal memuat nama, nomor induk pegawai, foto yang bersangkutan serta nama instansi pemberi tugas.
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Potensi dampak yang perlu diberitahukan kepada masyarakat bukan hanya dampak negatifnya saja tetapi juga dampak positif dari adanya usaha dan atau kegiatan pengelolaan B3 tersebut.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Penyebarluasan pemahaman tentang B3 dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan.
Pasal 35
Ayat (1)
Hak atas informasi tentang kegiatan di bidang pengelolaan B3 merupakan konsekuensi logis dari hak dan peran masyarakat dalam pengelolaan B3 yang berdasarkan pada azas keterbukaan. Hak atas informasi tersebut akan meningkatkan nilai dan efektifitas peran masyarakat dalam pengelolaan B3, di samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasi-kan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi tersebut dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan B3 yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan pengelolaan B3, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 36
Peran dimaksud meliputi peran dalam proses pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau perumusan kebijaksanaan lingkungan hidup. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan B3.
Pasal 37
Sumber dana lain adalah seperti dana lingkungan atau dana bantuan dari organisasi/asosiasi tertentu.
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksudkan sampai batas tertentu, adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud tindakan pihak ketiga dalam ayat ini merupakan perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang dilakukan Pemerintah.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4153

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I
No.KEP.186/MEN/1999
TENTANG UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN
DITEMPAT KERJA
MENTERI TENAGA KERJA R.I
Minimbang :
  1. bahwa kebakaran di tempat kerja berakibat sangat merugikan baik bagi perusahaan, pekerja maupun kepentingan pembangunan nasional, oleh karena itu perlu ditanggulangi;
  2. bahwa untuk menanggulangi kebakaran di tempat kerja, diperlukan adanya pralatan proteksi kebakaran yang memadahi, petugas penanggulangan yang ditunjuk khusus untuk itu, serta dilaksanakannya prosedur penanggulangan keadaan darurat;
  3. bahwa agar petugas penanggulangan kebakaran di tempat kerja dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, perlu diatur ketentuan tentang unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja dengan Keputusan Menteri
Mengingat :
  1. Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912
  2. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara R.I. Nomor 1, Tambahan Negara Nomor 2918);
  3. Keputusan presiden RI Nomor 122/M/1988 tentang Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan.
  4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-02/MEN/10\992 tentang Tata Cara Penunjukan, Kewajiban dan Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
  5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4/Men/1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
  1. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 28/1994 tentang struktur Organisasi dan Tata Kerja Departemen Tenaga Kerja;
MEMUTUSKAN
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA RI TENTANG UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI TEMPAT KERJA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
  1. Tempat kerja ialah ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya.
  2. Tenaga kerja ialah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun diluar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
  3. Penanggulangan kebakaran ialah segala upaya untuk mencegah timbulnya kebakaran dengan berbagai upaya pengendalian setiap perwujudan energi, pengadaan sarana proteksi kebakaran dan sarana penyelamatan serta pembentukan organisasi tanggap darurat untuk memberantas kebakaran.
  4. Unit penanggulangan kebakaran ialah unit kerja yang dibentuk dan ditugasi untuk menangani masalah penganggulangan kebakaran di tempat kerja yang meliputi kegiatan administrasi, identifikasi sumber-sumber bahaya, pemeriksaaan, pemeliharaan dan perbaikan sistem proteksi kebakaran.
  5. Petugas peran penanggulangan kebakaran ialah petugas yang ditunjuk dan diserahi tugas tambahan untuk mengidentifikasi sumber-sumber bahaya dan melaksanakan upaya-upaya penanggulangan kebakaran.
  6. Regu penanggulangan kebakaran ialah Satuan tugas yang mempunyai tugas khusus fungsional di bidang penanggulangan kebakaran.
  7. Ahli Keselamatan Kerja ialah tenaga teknis yang berkeahlian khusus di bidang penanggulangan kebakaran dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.
  8. Pegawai pengawas ialah pegawai teknis berkehalian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.
  9. Pengurus ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat kerja atau bagiannnya yang berdiri sendiri.
  10. Pengusaha ialah:
    1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
    2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
    3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka (1) dan angka (2) yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.
Pasal 2
  1. Pengurus atau Perusahaan wajib mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran, latihan penganggulangan kebakaran di tempat kerja.
  2. Kewajiban mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. Pengendalian setiap bentuk energi;
    2. penyediaan sarana deteksi, alarm, memadamkan kebakaran dan sarana evakuasi;
    3. pengendalian penyebaran asap, panas dan gas;
    4. pembentukan unit penanggulanan kebakaran di tempat kerja
    5. penyelenggaraan latihan dan gladi penanggulangan kebakaran secara berkala;
    6. memilki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran, bagi tempat kerja yang mempekerjakan lebih dari 50 (lima puluh) orang tenaga kerja dan atau tempat yang berpotensi bahaya kebakaran sedang dan berat.
  1. Pengendalian setiap bentuk energi, penyediaan sarana deteksi, alarm, pemadam kebakaran dan sarana evakuasi serta pengendalian penyebaran asap, panas dan gas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
  1. Buku rencana penanggulangan keadaan darurat kerbakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f, memuat antara lain:
    1. informasi tentang sumber potensi bahaya kebakaran dan cara pencegahannya;
    2. jenis, cara pemeliharaan dan penggunaan sarana proteksi kebakaran di tempat kerja;
    3. prosedur pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan pencegahan bahaya kebakaran;
    4. prosedur pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan pencegahan bahaya kebakaran;
    5. prosedur dalam menghadapi keadaan darurat bahaya kebakaran.
BAB II
PEMBENTUKAN UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN
Pasal 3
Pembentukan unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dengan memperhatikan jumlah tenaga kerja dan atau klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran.
Pasal 4
  1. Klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri :
  1. klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran ringan;
  2. klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang I
  3. klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang II
  4. klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang III dan;
  5. klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran berat.
  1. Jenis tempat kerja menurut klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud ayat (1) seperti tercantum dalam Lampiran I Keputusan Menteri ini.
  2. Jenis tempat kerja yang belum termasuk dalam klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sendiri oleh Menteri atau pejabat yang di tunjuk.
Pasal 5
Unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari:
  1. Petugas peran kebakaran;
  2. Regu penanggulangan kebakaran;
  3. Koordinator unit penanggulangan kebakaran;
  4. Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagai penanggung jawab teknis.
Pasal 6
  1. Petugas peran kebakaran sebagaimana dimaksud dlam pasal 5 huruf a, sekurang-kurangnya 2 (dua) orang untuk setiap jumlah tenaga kerja 25 (dua puluh lima) orang.
  2. Regu penanggulangan kebakaran dan ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 hurf b dan huruf d, ditetapkan untuk tempat kerja tingkat resiko bahaya kebakaran ringan dan sedang I yang mempekerjakan tenga kerja 300 (tiga ratus) orang, atau lebih, atau setiap tempat kerja tingkat resiko bahaya kebakaran sedang II, sedang III dan berat.
  3. Koordinator unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud pasal 5 juruf c, ditetapkan sebagai berikut :
    1. Untuk tempat kerja tingkat resiko bahaya kebakaran ringan ndan sedang I, sekurang-kurangnya 1 (satu) orang untuk setiap jumlah tenaga kerja 100 (seratus) orang.
    2. Untuk tempat kerja tingkat resiko bahaya kebakaran sedang II dan sedang III dan berat, sekurang-kurangnya 1 (satu) orang untuk setiap unit kerja.
BAB III
TUGAS DAN SYARAT UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN
Pasal 7
  1. Petugas peran kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a mempunyai tugas:
    1. Mengidentifikasi dan melaporkan tentang adanya faktor yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran;
    2. Memadamkan kebakaran pada tahap awal;
    3. Mengarahkan evakuasi orang dan barang;
    4. Mengadakan koordinasi dengan instasi terkait;
    5. Mengamankan lokasi kebakaran.
  1. Untuk dapat ditunjuk menjadi petugas peran kebakaran harus memenuhi syarat:
    1. sehat jasmani dan rohani;
    2. pendidikan minimal SLTP
    3. telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I.
Pasal 8
  1. Regu penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b mempunyai tugas:
    1. mengidentifikasi dan melaporkan tentang adanya faktor yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran;
    2. melakukan pemeliharaan sarana proteksi kebakaran;
    3. memberikan penyuluhan tentang penanggulangan kebakaran pada tahap awal;
    4. membantu menyusun buku rencana tanggap darurat kebakaran;
    5. memadamkan kebakaran;
    6. mengarahkan evakuasi orang dan barang;
    7. mengadakan koordinasi dengan instasi terkait;
    8. memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan;
    9. mengamankan lokasi tempat kerja;
    10. melakukan koordinasi seluruh petugas peran kebakaran
  1. Untuk dapat ditunjuk menjadi Regu penanggulangan kebakaran harus memenuhi syarat:
    1. Sehat jasmani dan rohani;
    2. Usia minimal 25 tahun dan maksimal 45 tahun;
    3. Pendidikan minimal SLTA
    4. Telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar II.
Pasal 9
  1. Koordinator unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c mempunyai tugas:
    1. Memimpin penanggulangan kebakaran sebelum mendapat bantuan dari instansi yang berwenang;
    2. Menyusun progarm kerja dan kegiatan tentang cara penanggulangan kebakaran;
    3. Mengusulkan anggaran, sarana dan fasilitas penanggulangan kebakaran kepada pengurus.
  1. Untuk dapat ditunjuk menjadi Regu penanggulangan kebakaran harus memenuhi syarat:
    1. sehat jasmani dan rohani;
    2. pendidikan minimal SLTA
    3. bekerja pada perusahaan yang bersangkutan dengan masa kerja minimal 5 tahun;
    4. telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I, tingkat dasar II dan tingkat Ahli K3 Pratama.
Pasal 10
  1. Ahli K3 sebgaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf d mempunyai tugas:
    1. membantu mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang penangggulangan kebakaran
    2. memberikan laporan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    3. merahasiakan segala keterangan tentang rahasia perusahaan atau instansi yang dapat berhubungan dengan jabatannya;
    4. memimpin penanggulangan kebakaran sebelum mendapat bantuan dari instansi yang berwenang;
    5. menyusun program kerja atau kegiatan penanggulangan kebakaran;
    6. melakukan koordianasi dengan instansi yang terkait.
  1. Syarat-syarat ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran adalah:
    1. Sehat jasmani dan rohani;
    2. Pendidikan minimal D3 teknik;
    3. Bekerja pada perusahaan yang bersangkutan dengan masa kerja minimal 5 tahun;
    4. telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I, tingkat dasar II dan tingkat Ahli K3 Pratama dan tingkat Ahli Madya.
  1. Dalam melaksanakan tugasnya ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran mempunyai wewenang:
    1. memerintahkan menghentikan dan menolak pelaksanaan pekerjaan yang dapat menimbulkan kebakaran atau peledakan;
    2. meminta keterangan atau informasi mengenai pelaksanaan syarat-syarat K3 dibidang kebakaran di tempat kerja.
Pasal 11
Tata cara penunjukan Ahli K3 sebagaimanan dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) huruf e, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 12
Kursus teknik penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2), padal 8 ayat (2), pasal 9 ayat 92), dan pasal 10 ayat (2) harus sesuai kurikulum dan silabi sebagaimanan tercantum dalam lampiran II Keputusan Menteri ini.
Pasal 13
  1. Tenaga kerja yang telah mengikuti kursus teknik penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 berhak mendapat sertifikat.
  2. Serifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanda tangani oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 14
  1. Kursus teknik penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 diselenggarakan oleh Perusahaan Jasa K3 yang telah ditunjuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
  2. Penunjukan perusahaan jasa pembinaan K3 sebagaimana dimaksud pada ayat 91) didasarkan pada kualifikasi tenaga ahli, istruktur dan fasilitas penunjang yang dimilikinya.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 15
Pegawai pengawas ketenagakerjaan melaksanaakan pengawasan terhadap ditaatinya Keputusan Menteri ini.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Pengurus atau pengusaha yang telah membentuk unit penanggulangan kebakaran sebelum keputusan ini ditetapkan, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun harus menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Kepurusan Menteri ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Ketentuan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
DITETAPKAN DI : JAKARTA
PADA TANGGAL : 29 SEPTEMBER 1999
MENTERI TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar